walpaper

Minggu, 01 Maret 2015

Asal-Usul Godzilla

Asal-Usul Godzilla

by myBoo
May 16, 2014 at 12:10
keepo.me-bwgodzilla.jpg
Didukung performa menawan dari aktor dan aktris berikut perjuangan keras dari kru yang terlibat di balik layarnya serta kolaborasi Warner Bros. Pictures dan Legendary Pictures. Tapi, tentunya, bukan hal itu yang bakal menjadi topik utama dalam pembahasan kita kali ini. Yep, marilah berkonsentrasi pada The Big G, Godzilla. Untuk memulai, kita mesti kembali ke lebih dari setengah abad yang lalu.
Dalam sebuah pesawat yang tinggi mengangkasa di langit Jepang pada awal tahun ’50-an, Tomoyuki Tanaka dalam penerbangan pulang menuju ke negaranya. Salah satu produser dari Toho Co., Ltd. itu mesti menemukan rencana alternatif paska dibatalkannya sebuah proyek film, yang sedianya dijalin bersama pihak pemerintah Indonesia pada masa itu. Matanya nanar, menerawang jauh ke bawah.



Apa yang terjadi jika dirinya membawa kabar buruk ini ke Tokyo? Apakah ada sesuatu yang bisa lebih buruk dari ini di bawah sana? Ia memandangi Samudera Pasifik. Dan, ide itu pun mendadak muncul. Ide akan adanya sebentuk kehidupan, sesosok monster raksasa, yang bangkit dari kedalaman lautan dan bergerak untuk menyerang Tokyo. Mendarat di bandara, Tanaka pun segera bergegas ke Toho.
Gayung bersambut, pihak studio pun langsung mengolah ide tersebut bersamanya dengan dukungan seorang sineas bernama Ishiro Honda dan Eiji Tsuburaya, yang dianggap salah satu pakar efek visual di kala itu. Proyek baru ini berkaca pada sukses yang sebelumnya diraih beberapa film Amerika, yang berfokus monster raksasa, misalnya King Kong (1933) dan The Beast from 20,000 Fathoms (1953).
Makin banyak yang tertarik untuk bergabung. Di antaranya terdapat Shigeru Kayama yang terbilang banyak menyumbangkan ide cerita untuk dimatangkan lagi oleh Takeo Murata, sang penulis naskah. Ditambah lagi dengan Akira Ifukube yang siap untuk menghidupi proyek ini melalui komposisi musik karyanya. Namun, yang terpenting dari semua itu adalah kembali ke awalnya. Sosok monster tadi.



Hingga kini, memang belum pernah dijabarkan adanya penjelasan yang mendasar mengenai dirinya. Namun, bisa dipastikan bahwa para kreatornya di masa itu menginginkan sesosok monster dengan ukuran yang raksasa, atau Daikaiju, berbeda dengan yang sebelumnya pernah dimunculkan di film- film tokusatsu. Bentuk dasarnya mengombinasikan hewan gorilla (gorira) dengan ikan paus (kujira).
Atau ‘Gojira,’ sesuai tradisi penyingkatan kalimat (atau bunyi kalimat) yang masih berlaku di Jepang hingga kini. Nama ini dimaksudkan sebagai gambaran atas sang monster yang dapat hidup di laut dan berukuran besar seperti ikan paus, yang juga bisa berpindah ke darat dan memiliki kekuatan tinggi serta daya pikir yang mirip dengan seekor gorilla saat menghadapi lawan-lawan alamiahnya.
Berbeda dengan yang telah banyak diyakini, nama ‘Godzilla’ nyatanya sama sekali bukanlah ide dari pihak Amerika. Nama tersebut diberikan oleh Toho sendiri sebagai penggayaan kata Gojira ke dalam bahasa Inggris saat mendistribusikan film Gojira pertama ke seberang lautan. Menjadi sisi ironi yang tersendiri adalah cikal bakal terlahirnya Gojira ke muka Bumi, yaitu ledakan bom nuklir di Jepang.

Seperti yang diketahui, Jepang menanggung kekalahan besar dalam Perang Dunia II akibat dua kota, yaitu Hiroshima dan Nagasaki, dijatuhi bom nuklir pada pertengahan tahun 1945 oleh pihak Sekutu. Dan, tidak jauh dari batalnya proyek awal Tanaka, sebuah kapal pemancing Jepang, Daigo Fukuryu Maru, terkontaminasi oleh percobaan ledakan nuklir di kepulauan Marshall pada awal Maret 1945.
Mengutip perkataan Toshio Takahashi, seorang dosen ilmu sastra di Universitas Waseda, bahwa keberadaan monster merupakan simbolisme yang kognitif atas kondisi dunia yang sebenarnya di luar sana. Oleh karena itu, kisah-kisah yang berfokus pada keberadaan monster umumnya juga akan membawa semacam pesan yang implisit menyoal kemanusiaan berikut segala aksi yang dilakukan.
Berkaca pada tragedi Daigo Fukuryu Maru dan gerakan serta isyu anti bom nuklir yang menghangat di seantero Jepang, film Gojira pertama yang rilis sekira delapan bulan setelahnya ternyata berhasil menjaring lebih dari 9 juta penonton domestik. Hal itu juga tentunya didorong dengan begitu mem-booming-nya perfilman sebagai bentuk hiburan baru di kultur Jepang pada era ’50 hingga ’60-an.



Padahal jika lebih ditilik, film tersebut dikemas layaknya B-movie yang norak. Berkat ketatnya budget dan sedikitnya waktu untuk berproduksi, bukannya malah mengikuti King Kong yang menganut gaya animasi stop-motion yang lebih populer, proyek ini menampilkan seorang stuntman yang memakai kostum monster dan bergerak menandak-nandak di atas miniatur Tokyo yang telah dimaketkan.
Di buku Tokusatsu wo Meguru Hitobito (Orang-orang yang Menciptakan Efek Spesial) yang terbit di tahun 2011, Honda sempat menyatakan bahwa salah satu tema yang mendasari filmnya itu adalah pergesekan yang terjadi antara manusia dengan alam. Begitulah, mereka mencoba mengingatkan audiens pada berbagai konsekuensi yang mesti dihadapi sebagai kaum manusia yang lebih beradab.
Secara esensinya, Godzilla merupakan penggambaran atas alam dalam wujud yang telah bermutasi. Beberapa kritikus di masa itu pun meyakini bahwa penampilan Godzilla dengan punggung berduri dan kulitnya yang unik itu mereferensikan berbagai luka yang dialami oleh penduduk Hiroshima dan Nagasaki akibat terpapar radiasi bom nuklir di Perang Dunia II, meski hal itu disanggah para kreator.
Belakangan, melalui Godzilla vs. King Ghidorah (1991), pihak Toho akhirnya memberikan kisah asal-usul yang lebih kongkret atas Godzilla. Di dalamnya, dikisahkan bahwa monster tersebut merupakan hewan purbakala dari jenis Godzillasaurus (kombinasi atas Tyrannosaurus, Iguanodon, Stegosaurus, dan buaya menurut art director Akira Watanabe) yang bermutasi menjadi Godzilla akibat radiasi.



Terlepas dari itu, dunia telah mencatat bahwa dari film Gojira pertama telah diluncurkan salah satu ikon pop kultur Jepang yang tetap diingat hingga kini. Sayangnya, meski film tersebut bernuansa serius dan muram yang merefleksikan kondisi Jepang paska Perang Dunia II, film-film Godzilla yang berikutnya berubah makin menjadi hiburan. Layaknya mengikuti kondisi Jepang yang kian membaik.
Namun berbeda dengan yang ditampilkan dalam dua remake versi Amerika, baik Godzilla, King of Monsters di tahun 1954 mau pun Godzilla di tahun 1998, film-film Gojira biasanya memberikan pertanyaan sekaligus pemahaman secara implisit mengenai sosok sang monster dan alasan yang melatari pemunculannya. Segala kehancuran yang disebabkan terasa dapat diterima dan dimaklumi.
Menurut Norihiro Kato dalam bukunya, Sayonara Godzilla-tachi (Selamat Tinggal Para Godzilla), monster itu merupakan simbolisasi atas dosa-dosa yang ditanggung Jepang selama Perang Dunia II. Well, pembahasan yang berat ini akhirnya mesti disudahi dulu untuk saat ini. Nantikanlah di minggu berikutnya, kala VGI membahas evolusi yang terjadi atas diri Godzilla selama 60 tahun ini.

source

Tidak ada komentar:

Posting Komentar